Jumat, 17 Juli 2009

“Bagus dan Uang Bulanan”

(pernah dimuat diradar Madiun, di rubrik Xmud)
“Telur, tempe, sama sayur. Semua berapa bu?”. Tanya Bagus sambil membuka dompet.
“Tujuh ribu lima ratus mas …”. Jawab ibu penjaga warung, ramah. Bagus mengambil satu lembar sepuluh ribuan dari dalam dompet. Tersisa dua lembar sepuluhan ribu dan selembar lima ribuan. Udin masih mematung di depan pintu warung sambil menunggu uang kembalian dari ibu penjual. Terdiam sambil pikiranya melayang. Melayang mencari cara agar dengan sisa uang yang ada didompetnya dia bisa bertahan sampai akhir bulan. Sampai datang kiriman lagi dari bapaknya. Waktu seakan lambat berjalan. Seolah-olah menguji dirinya hidup dengan uang yang terbatas. Ya harus bagaimana lagi. Sebagai anak kost yang jauh dari rumah, tak heran kalau Bagus hanya bisa mengandalkan uang kiriman dari bapaknya dari kampung.
***
Bagus mengurung diri dalam kamar kostnya yang sempit. Kamar kost yang sempit itu pun dia sewa berdua dengan temannya, agar uang sewa bulanan bisa lebih ringan. Bagus hanya bisa mencari kost yang sempit dan jauh dari kata nyaman. Disesuaikan dengan uang bulanan dari bapak Bagus dari kampung. Bapak Bagus adalah seorang petani. Bukan petani besar. Tetapi bapak Bagus mempunyai keinginan besar untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Agar kelak tak menjadi petani kecil macam dia. Bapaknya menginginkan Bagus menjadi orang yang berhasil. Paling tidak bisa membantu sekolah untuk adik-adiknya yang masih kecil. Orang tuanya menaruh harapan yang besar di pundak Bagus.
Seakan Bagus tidak merasa dibebani harapan yang lebih oleh orang tuanya, Bagus mengumpat dalam hati. Kenapa dia dilahirkan miskin seperti ini. Kenapa dia tidak dilahirkan sebagai anak dari orang kaya serba berkecukupan. Kenapa dia tidak mempunyai orang tua yang sanggup memberi uang bulanan yang lebih. Bagus kini menjadi orang yang tak bisa bersyukur. Dia lupa kalau teman-temanya yang ada di desa banyak yang hanya tamat SMP saja. Dia lupa kalau teman-temanya dikampung setiap hari hanya bergelut dengan lumpur sawah, atau dengan hewan ternaknya. Tak seperti dirinya sebagai mahasiswa, yang tiap hari hanya duduk manis mendengarkan dosen memberi kuliah. Bagus lupa bersyukur.
***
Bagus membuka dompetnya. Hanya tersisa dua lembar lima ribuan. Bagus menghela napas panjang. Dia mengurungkan niatnya untuk sekedar isi pulsa handphone bututnya. “Mending buat makan dulu aja deh.”. Kata Bagus dalam hati. Sambil tersenyum kecut. Seminggu lagi ada ujian tengah semester. Bagus harus membayar uang patungan tugas kelompok. Belum lagi potocopy matakuliah-matakuliah yang tak sempat dicatat karena kemalasannya. Bagus sekali lagi melihat dompetnya. Tak terhitung sudah berapa kali Bagus melihat isi dompetnya. Hanya tersisa dua lembar uang lima ribuan. Tetap dua lembar lima ribuan. Bagus memutar otak. Mau tak mau Bagus harus pulang ke rumahnya di kampung. Awal bulan masih lumayan lama. Bagus harus pulang untuk meminta uang lagi untuk keperluan ujian tengah semester di kampusnya. Dia akan meminta agak lebih. Selain untuk keperluan Ujian, sudah lama juga Udin tidak menonton film di bioskop bersama-sama teman kelasnya. Untuk biaya transport pulang, Bagus meminjam uang dari teman kostnya. Bagus berjanji segera mengembalikan uang yang dia pinjam, sepulang dia dari rumah.
“Tenang bos…kalau udah balik pasti aku balikin kok uangmu”. Kata Bagus meyakinkan temannya, sambil menempelkan selembar uang lima puluh ribuan hasil pinjaman dari temannya itu di keningnya. “Lumayan..!” katanya dalam hati.
***
Bagus berpangku tangan sambil melemparkan pandangan ke arah luar jendela bus. Sementara otaknya berpikir menyiapkan kata-kata yang pas untuk bapaknya. Kata-kata yang nantinya bisa membuat Bagus mendapat uang bulanan tambahan dari bapaknya. Disamping itu Bagus sudah cukup rindu untuk pulang kampung. Rindu kepada teman-teman sepermainannya. Rindu suasana kampung yang jauh berbeda dengan susana kota tempat sekarang Bagus kuliah. Bagus sudah menyiapkan cerita-cerita untuk teman-temanya bagaimana kehidupanya di kota besar. Dia tak sabar melihat reaksi teman-teman kampung mendengar ceritanya. Dia tak sabar mendengar decak kagum teman-temannya setelah mendengar cerita hebatnya nanti. Tak terasa laju bus telah membawa tubuh Bagus hampir sampai ke tempat tujuan. Rumahnya. Sengaja Bagus tak memberitahukan kepulangannya kepada bapaknya ataupun ibunya. Soalnya dia pulang juga tidak dalam waktu yang lama. Dia hanya ingin meminta uang tambahan dan segera kembali ke kota. Karena ujian tengah semester sudah menunggu.
***
“Kiri mas…”. Bagus memberi aba-aba berhenti kepada kernet yang telah berdiri di samping pintu bus.
“Sini mas ?”.
“Iya mas, pas pertigaan ya..”. Jawab Bagus.
“makasih mas..”. Kata Bagus sembari melompat turun dari bus yang ditumpanginya. Bagus sejenak melihat sekeliling. Pertigaan tampak sepi. Bagus menebak dalam hati. Biasanya ada yang punya hajat kalau suasana sepi seperti ini. Bagus pun segera beranjak dari tempat dia berdiri. Ringan sekali Bagus mengayunkan langkahnya kali ini. Tak seberat langkahnya ketika harus berjalan ke kampus untuk kuliah pagi. Beberapa saat lagi dia akan sampai di rumahnya. Hanya beberapa ratus meter dari pertigaan dari tempatya turun dari bus. Rumahnya telah terlihat. Tampak ramai dengan berbagai aktifitas didalam rumahnya. Orang keluar masuk rumahnya dan tampak panik. Berbagai sangat penasaran. Di depan rumah agak kesamping, terpasang bendera putih berkibar diterpa semilir angin sore. Telah banyak orang berkerumun di rumahnya. Bagus mempercepat langkahnya. Dia menyibak kerumunan warga yang berkumpul di pintu rumahnya. Dia menemukan Ibu dan adik-adiknya sesenggukan menangis di dalam rumah.
“Ada apa bu?”. Tanya Bagus setengah teriak. Penasaran
“Bapakmu nak…”.
“Bapak kenapa bu…??”. Wajah Bagus memucat. Peluh pun mengalir.
Ibunya terdiam sejenak. Bagus mengedarkan pandangan ke penjuru rumah. Bagus menemukan Jenazah bapaknya telah terbujur kaku tergolek di ranjang bambu di sudut rumah.
“Bapakmu meninggal Gus. Bapakmu terkena serangan jantung saat bekerja di sawah tadi ”.
“Dia bekerja terlalu keras. Padahal ibu sudah melarang bapakmu Gus..”. Jawab ibu Bagus terbata-bata.
Bagus teringat bapaknya mengidap panyakit jantung. Bapaknya tidak mau berobat, apalagi operasi. Dia memilih uangnya lebih baik ditabung buat biaya Bagus masuk kuliah nanti.
Bagus tertunduk. Dia tidak dapat lagi melihat sosok bapaknya. Dia terlambat untuk bangga kepada bapaknya. Bapaknya yang banting tulang untuk keperluan keluarga dan terutama untuk biaya kuliahnya. Bagus sudah tak memikirkan lagi uang bulannanya. Uang bulanan yang kurang, sehingga terpaksa membuat dia ada di rumah seperti sekarang ini. Dia hanya ingat bapaknya. Bapaknya yang telah terbujur kaku. Bapaknya yang sangat bangga ketika melihat anaknya berhasil kelak. Bukan anak yang selalu mengeluh uang bulanan yang kurang. Bagus hanya bisa menangis.
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar