Jumat, 17 Juli 2009

cerpen

Ijinkan Aku Sekali lagi…
Oleh : Syafril Hidayat
(pernah di muat di Jawa Pos, cerpen 'Deteksi')


Aku terus saja berjalan. Walaupun kurasakan gelap menghalangi langkahku yang sudah mulai gontai. Aku hanya ingin segera keluar dari ruang gelap ini. Entah sudah berapa lama aku berada di ruang gelap yang terkutuk ini. Ya terkutuk! Tidak hanya gelap, tapi juga pengap, yang memaksa aku berkali kali menarik nafas dalam - dalam. Aku harus tetap bernafas sampai aku dapat keluar dari ruang gelap dan pengap sialan ini. Kucoba rentangkan kedua tanganku kesamping, lalu kedepan. Berharap aku menyentuh sesuatu untuk dapat kujadikan pegangan yang dapat menuntun jalanku yang tak tahu arah ini. Karena aku terlalu letih, dan terlalu lemah untuk dapat terus berjalan melewati ruang ini. Tapi aku tidak yakin, apakah ini suatu ruangan. Karena aku merasa telah berjalan berkilo - kilometer kedepan, dan aku tak kunjung menemukan ujungnya. Mungkinkah ini sebuah gua, Gua panjang yang tak berujung tepatnya,. Sehingga aku takkan bisa pernah keluar. Tapi aku ingin keluar. Aku sudah terlalu bosan dan tersiksa berada di sini. Ingin aku mencoba teriak, tapi aku tak bisa. Mulutku terasa berat dan berat sekali. Terlalu berat untuk hanya ucapkan satu kata saja. Kata yang pendek sekalipun, Aku hanya ingin mengucapkan kata “Tolong!” itu saja. Tidak telalu berlebihan bukan. Aku ingin teriak “tolong!” agar ada seseorang atau sesuatu yang dapat mengeluarkan aku yang tidak berdaya dari kegelapan ini. Aku butuh sekali pertolongan kali ini. Adakah yang bisa keluarkan aku dari sini?
****

Masih saja gelap itu ada. Gelap pekat yang membungkusku rapat - rapat sampai membuat aku tak berdaya. Seakan membunuhku secara perlahan. Masih ku coba ‘tuk terus berjalan. Dengan sisa – sisa nafas dan tenaga yang masih melekat di ragaku, yang mungkin sebentar lagi nafas dan tenaga ini akan hilang tenggelam oleh letih yang menggunung. Terhenti sejenak ketika ku dengar suara. Ya! itu suara. Tapi dimana? Aku tak tahu dimana? Aku tak bisa melihat…tapi kudengar suara itu. Tidak begitu jelas. Tapi aku yakin itu suara. Ku edarkan pandang ke sekelilingku, hanya gelap, gelap pekat,hitam. Dan aku tetap tak bisa melihat.
“Iza, bangun Iza!” sepertinya aku tak asing dengan suara itu. Suara perempuan. Sepertinya aku kenal. Suara itu semakin jelas. ‘’Iza, bangun…ini ibu nak!” Ya. Itu suara ibu…Tapi aku tak bisa melihat. Sampai aku merasa melihat ada cahaya depan sana. Aku berlari, Dan aku merasa suara yang mirip ibu itu ada di cahaya itu. Aku berlari, dan ajaib…Hei, aku bisa berlari. Kencang sekali. Aku terhenti ketika kudengar lagi suara itu.”Iza…bangun!” suara itu bergetar dan semakin lirih. Tapi aku merasa aku tak terlalu jauh dari asal suara itu. Seperti suara orang yang menangis.
Kurasakan ada yang membelai rambutku. Belaian yang mengharap aku bangun dan terjaga .Apa aku belum bangun. Bukankah aku telah berlari, bahkan berkilo – kilometer di sepanjang ruang gelap tadi. Terakhir bahkan aku lari kencang sekali…Hei Ibu, aku sudah bangun. Teriakku dalam hati. Hanya bisa dalam hati.
****
Sampai perlahan gelap yang kurasakan tadi menghilang perlahan. Seiring ku berusaha mencoba membuka mata. Berat, seakan ada beban beribu ribu ton yang membebani kelopak mata ku ini. Tapi aku tetap mencoba membuka mataku.
Sontak kurasakan silau yang teramat sangat. Aku memejamkan mata lagi. Dan kudengar lagi suara itu
“Kau sudah sadar nak?”. Aku mencoba membuka mata lagi. Dan kali ini berhasil. Ku lempar pandangan ke sekelilingku dengan mata setengah terpejam. Silau itu masih saja menyerangku. Tapi kali ini tak berhasil memebuat mataku terpejam lagi. Aku melihat Ibu. Tak hanya ibu. Tapi bapak, adik, kakak. Bahkan aku melihat sudara jauh dari bapak dan ibuk yang selama ini jarang ku temui. Aku menangkap rasa kekawatiran yang ada diwajah – wajah meraka. Ya, sepertinya kekawatiran itu di tujukan kepadaku. Dari semua wajah yang kulihat, wajah ibu lah yang paling kentara tenggelam oleh kekawatiran itu. Sinar wajahnya redup, tak seperti bisanya. Biasanya aku silau oleh sinar wajah ibu yang cerah. Yang mengantarkan aku setiap aku berangkat sekolah. Aku melihat ke arah Ibu. Ibu tersenyum. Dia bahagia, dan sekali lagi membelai rambutku dengan penuh kasih sayang.
“ Kau sudah sadar Iza?” Ibu dengan suara yang setengah berbisik mendekat ke telingaku.
“Kau sudah bangun dari pingsanmu”
“Pingsan?” aku terkejut, ketika telingaku mendengar perkataan dari mulutku sendiri. Mulutku yang sedari tadi terkunci. Bahkah aku sempat merasa aku tak akan dapat mengucapkan kata – kata lagi dari mulutku.
“Ya, kau tadi mengalami kecelakaan”
“Kecelakaan?”aku bertanya pada ibu sekali lagi.
“Sewaktu pulang sekolah, kau tertabrak mobil nak” ibu menjawab sembari membelai rambutku dengan perlahan.
“Apa aku tidak apa – apa bu?” kali ini kuarahkan pandangku ke tangan, badan dan kemudian kaki ku. Tangan kananku terlilit perban.terlalu banyak lilitan perban hingga aku tak bisa melihat jari jari tangan kananku. Tangan kananku tak bisa ku gerakkan. Kucoba gerakkan kakiku. Dan aku lega masih bisa meggerakkan kakiku walaupun linu dan perih kurasakan di kedua kakiku. Terutama di sendi sendinya Lalu ku mencoba meraba kepalaku dengan tangan kiriku yang masih bisa ku gerakkan. Belum sempat aku meraba kepalaku buru – buru ibu mencegahku.
“Kepalamu terbentur aspal sewaktu kecelakaan tadi”
Aku bersyukur. Setidaknya aku masih bisa melihat anggota tubuhku masih utuh. Tangan, badan, kaki, kepala masih utuh. Walaupun tangan kananku tak bisa kugerakkan saat ini. Sekali lagi ku lihat ibu, bapak, adik dan saudara saudara – saudara. Kali ini rona wajah mereka berangsur angsur ceria. Kulihat sinar wajah ibu yang tadi redup dan keruh, sekarang mulai jernih kembali. Sedikit bersinar.
Sekali lagi kulihat anggota tubuhku. Kupastikan masih utuh.
Ku masih sempat mencoba meraih tangan ibu sebelum gelap itu datang lagi. Gelap itu menyerang lagi. Dan lagi – lagi, aku tak bisa melihat apapun lagi. Aku masuk ruangan gelap itu lagi.
*****
“Iza, bangun nak!” suara itu terdengar lagi.
“Nak ini ibu nak” Suara itu bergetar dan terdengar terbata – bata tenggelam oleh isak tangisnya.
Aku mencoba membuka mata. Dan sekali lagi berhasil. Kulihat ibu mencoba tesenyum, dengan senyuman yang terlihat di buat - buat. Hanya ingin menyenangkan dan melegakan aku. Sembari mengusap air mata dan mencoba tak menunjukkan rasa sedih itu kepadaku. Tapi aku tahu, aku bisa membaca ada kesedihan yang mendalam di raut wajah ibu. Kulihat sekelilingku, kali ini sepi. Tidak seperti tadi. Tadi kulihat ibu, bapak, adik dan sudara – saudara jauh yang lain. Suasana ini sungguh jauh bebeda dari yang tadi aku lihat. Kali ini hanya kulihat ibu yang terus menangis sesenggukan. Tangis ibu memecah, menyibak kesunyian di ruang itu. Sunyi, karena hanya ada aku dan ibu diantara dinding putih ruangan ini. Di sebelah kiri atas kulihat botol Infus. Yang tergantung pada gantungan infus besi yang mulai berkarat. Tak terawat. Tercium bau karbol yang menyengat hidungku dari segala penjuru ruangan. Bau khas rumah sakit. Ya, ini rumah sakit.
“Ibu kenapa menangis?”
Ibu tak menjawab. Malah tangis ibu semakin menjadi jadi setelah terlontar pertanyaan itu. Masih saja kulihat wajah setengah renta yang semakin tenggelam oleh kesedihan. Tapi masih tampak sangat cantik bagiku. Ku coba gerakkan tanganku.Aku ingin membelai wajah ibu dengan tanganku. Barangkali bisa meredakan tangisnya. Tapi ku tak bisa gerakkan tanganku. Ku coba sekuat tenaga, tetap tak bisa. Coba dan coba lagi. Sampai kusadari ternyata tangan yang sedari tadi coba kugerakkan, sudah tidak ada lagi. Hilang. Lenyap. Dimana tanganku?. Aku hanya membatin.Tak berani meyakinkan diri, apakah benar benar tak ada tanganku itu.
“Kamu kecelakaan, kedua tanganmu terluka parah dan harus diamputasi nak !”
Ibu berbisik padaku. Dan sekali lagi air mata ibu deras mengucur membasahi pipinya yang mulai keriput termakan usia.
Aku berusaha mengingat lagi apa yang terjadi sampai aku bisa di ruangan ini. Tapi kepala ku terasa sakit untuk mencoba mengingat kembali. Aku hanya ingat ketika mencium tangan ibuku sebelum berangkat sekolah. Hanya itu yang kuingat. Selebihnya aku tak ingat. Kepalaku terasa berat sekali. tak hanya berat. Tapi juga sakit.
Aku hanya menatap wajah ibu yang terus bersedih. Aku tak berani melihat keadaan bekas tanganku yang telah hilang diamputasi. Yang bisa kulakukan sekarang hanya menatap wajah ibu yang tenggelam oleh badai kesedihan. Aku ingin sekali membelai wajah ibu dengan kedua tanganku, ingin…ingin sekali. ya ! dengan kedua tanganku. Tapi aku tak bisa.
Aku sangat menyesal kerena tak pernah memebelai wajah ibu dengan kedua tanganku sewaktu masih ada. Ijinka aku sekali lagi…
Dan aku hanya bisa berharap semoga ini hanya mimpi. Aku ingin memejamkan mata sekali lagi. Aku ingin masuk di ruangan gelap itu lagi. Dan saat membuka mata, aku berharap menemukan suasana yang berbeda lagi. Tidak seperti ini. Aku ingin membelai wajah ibu. Ijinkan aku sekali lagi…


Malang, Jawa Timur: 16 Desember 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar